ASTERIA: “Guru perlu paham proses design thinking dengan benar.”

Tantangan di era globalisasi saat ini menuntut dunia pendidikan mampu mempersiapkan anak didiknya siap terjun di masyarakat yang perkembangannya tidak lagi linier. Oleh karena itu, guru perlu membekali diri dengan ketrampilan yang tepat, yakni kemampuan untuk memecahkan masalah secara kreatif. Design Thinking merupakan salah satu cara untuk mengembangkan kreativitas tersebut. Seringkali guru terjebak dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki untuk memecahkan masalah. Guru yang memiliki banyak pengalaman mengajar biasanya sudah memiliki pola tertentu untuk memecahkan masalah atau membuat rancangan. Pengalaman itu kemudian memunculkan habit yang selalu digunakan oleh guru berpengalaman untuk memecahkan masalah atau memprediksikan sesuatu. Meskipun pada beberapa situasi tertentu pengalaman yang dimiliki oleh experience teachers berguna, tetapi apabila guru (baik yang berpengalaman atau tidak) mengaplikasikan proses design thinking untuk menciptakan rancangan pembelajaran (solusi terbaik untuk murid-muridnya), hasil yang akan didapat akan lebih valid, inovatif, dan kreatif.

Untuk dapat menerapkan proses design thinking dalam kehidupan mengajarnya, guru harus sangat paham bagaimana proses design thinking itu berlangsung. Setiap fase yang ada pada design thinking harus dilakukan secara benar, prosedural dan harus memenuhi target per fase (seperti yang ada di DTS: Design Thinking Standard).

Proses design thinking memiliki 5 fase yaitu empathize, define, ideate, protothype dan test. Namanya saja proses, maka akan berlangsung terus menerus hingga tujuan tercapai. Pada fase pertama design thinking, yaitu, empathize, guru harus benar-benar paham bagaimana cara menggali data dari user (murid-murid) sehingga guru bisa tepat sasaran dalam membuat solusi untuk anak didiknya. Data yang digunakan haruslah sebuah kebenaran, yakni data yang terverifikasi, bukan hanya sekedar fakta. Data-data yang digunakan pun harus yang relevan dan penting yang nantinya digunakan untuk merumuskan masalah. Pada fase ini guru dituntut untuk melihat, merasakan, dan berpikir seperti user. Guru pun harus mengesampingkan pendapat atau asumsi dan mengosongkan diri untuk dapat melihat kebutuhan user secara jernih. Jika  fase yang disebut empathize ini gagal dieksekusi dengan baik, maka tidak ditemukan solusi jitu untuk memecahkan masalah tersebut. ***

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s