
Di era digital sekarang ini, masyarakat begitu banyak terekspos dengan cerita dan informasi yang dianggap sebagai data, tanpa terlebih dahulu memeriksa kebenarannya. Cerita yang unik dan menyentuh perasaan dengan mudah diterima masyarakat dan dianggap sebagai sebuah fakta. Kisah Belle Gibson, pembuat aplikasi The Whole Pantry, yang menyatakan dirinya adalah seorang survivor kanker sempat viral dan menarik perhatian banyak orang. Kisah ini adalah contoh klasik dari bias konfirmasi yakni suatu kecenderungan untuk mencari bukti-bukti yang hanya mendukung pendapat atau kepercayaan seseorang namun mengabaikan bukti-bukti yang menyatakan sebaliknya. Kisah yang ternyata hanya karangan belaka itu begitu saja diterima masyarakat tanpa memeriksa kebenaran ceritanya.
***
Dalam design thinking, memperoleh data yang valid adalah hal yang sangat penting. Seorang desainer tidak dibenarkan mengambil sebuah cerita sebagai fakta tanpa diverifikasi kebenarannya, kemudian menjadikan fakta yang tidak terkonfirmasi itu menjadi sebuah data. Setiap informasi yang diterima tidak boleh ditelan mentah-mentah, melainkan harus diperiksa keabsahannya, dicerna betul sehingga didapatkan validitas data untuk kemudian bisa dijadikan data yang mendukung.

Para desainer menemui tantangan yang cukup sulit untuk mendapatkan data yang valid di era post-truth sekarang ini. Informasi-informasi hoax punya pengaruh lebih besar dibanding fakta yang sebenarnya. Masyarakat hidup di dalam kebohongan dan tidak lagi menganggap hal tersebut sebagai masalah. Desainer mendapat gempuran budaya era post-truth yang memandang kebenaran sejati sebagai kebenaran yang sesuai dengan emosi sosial, bukan fakta yang terverifikasi. Padahal, agar bisa menolong user menemukan pemecahan masalah, desainer harus dapat merumuskan permasalahan secara tepat. Untuk dapat melakukan hal tersebut, desainer harus mendapatkan data-data yang valid. Desainer perlu mewaspai merasuknya budaya post-truth ketika mengumpulkan data-data yang diperlukan. Logika harus digunakan untuk melihat fakta yang ditemukan. Kepercayaan pribadi dan emosi tidak boleh digunakan untuk menyaring informasi yang diterima melainkan menggunakan rasionalitas dan pengetahuan. Dengan demikian, desainer bisa membedakan mana fakta, mana opini. Tidak semua cerita bisa dianggap sebagai fakta. Tidak semua fakta bisa digunakan sebagai data jika ternyata fakta tersebut tidak representative. Tidak semua data bisa dipakai sebagai bukti jika ternyata data tersebut tidak mendukung untuk memecahkan masalah.

Design thinking menuntut desainer untuk memecahkan masalah yang menjadi inti persoalan user. Inti permasalahan user bisa dikenali dengan tepat hanya jika desainer memiliki data-data yang mendukung analisa dan hipotesanya. Agar dapat melihat inti permasalahan yang dihadapi user dengan benar, desainer harus memiliki strategi pengumpulan data yang tepat. Yakni dengan mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi dan data melalui observasi, terlibat langsung dan menempatkan diri dalam posisi user untuk memahami kebutuhan mereka secara psikologi dan emosi. Instrumen yang bisa digunakan antara lain wawancara, kuosioner, observasi, studi literature, dan lain-lain. Data yang diperoleh dapat berupa data kualitatif maupun data kuantatif.

Desainer harus menyingkirkan perasaan, asumsi-asumsi dan penilaian–penilaiannya tentang user maupun permasalahan yang hendak dipecahkan agar bisa melihat user needs secara jernih. Hal ini dimaksudkan supaya desainer dapat memahami kebutuhan, keinginan, pikiran, perasaan, dan motivasi user. Oleh sebab itu tahap empathize menjadi sangat krusial. Desainer tidak akan mungkin dapat menemukan inti permasalahan hanya dari dari data tunggal, sehingga diperlukan data-data pendukung. Data-data tersebut bisa menguatkan pernyataan awal ataupun mematahkannya jika itu tidak representatif. Untuk memastikan validitas data yang diperoleh, desainer dapat mengujinya dengan secara aktif mencari sudut pandang lain dan terbuka terhadap kemungkinan bahwa data yang dimiliki salah. Setiap cerita, informasi dan data yang diperoleh dari user harus diolah dan dianalisa secara matang. Desainer harus bersikap asertif dan tidak boleh langsung mempercayai informasi yang diterima dari user. Desainer dituntut untuk menggunakan intuisinya dalam melihat data-data yang diperoleh menggunakan logika atau penalaran. Proses menemukan validitas data adalah dengan memverifikasi data-data tersebut. Desainer harus berpikir kritis dengan bertanya “mengapa” untuk memahami bahwa sebuah cerita belum tentu fakta, karena belum tentu benar. Kesimpulan tidak bisa ditarik hanya berdasar pada fakta-fakta yang diperoleh. Untuk menjadikan fakta-fakta itu menjadi data yang terpercaya sehingga bisa menjadi bukti, maka desainer harus memiliki data pendukung misalnya mencari landasan teorinya seperti yang tertuang dalam Bayesian Inference yang disampaikan Alex Edmans, Professor of Finance dari London Business School, dalam video kuliahnya yang berjudul “What to trust in a ‘post-truth’ world”.
***
Fase empathize dikatakan berhasil ketika desainer mampu mengumpulkan data-data pendukung yang tepat. Data-data tersebut kemudian diolah dengan cara mengelompokkan data untuk melihat hubungan dan keterkaitannya satu sama lain. Desainer akan menganalisa hasil observasi dan menformulasikan ide-ide yang umum menjadi lebih khusus untuk mengetahui core problems (inti permasalahan) yang sebenarnya sedang dihadapi user dan merumuskan masalah atau dikenal dengan Define Problem Statement (DPS). Fase DPS tidak mungkin bisa dilakukan jika pengumpulan data pada fase empathize masih berantakan. Problem statement yang tepat bisa tersusun hanya jika desainer memiliki data yang valid. Data yang diolah haruslah data yang dapat dipercaya dan tidak ambigu. Kemampuan yang baik dalam mengolah data akan menghindarkan desainer dari kesalahan melihat suatu permasalahan sehingga dapat melihat kebutuhan user secara mendalam.
Alex Edmans, mengemukakan beberapa saran praktis yang bisa digunakan para desainer untuk memperoleh data yang valid sehingga dapat menentukan masalah inti yang akan dipecahkan.

- Actively seek other viewpoints
Secara aktif desainer perlu mencari sudut pandang orang lain dan terbuka terhadap kemungkinan bahwa data yang dimilikinya bisa saja salah. Edmans mengatakan “Only if you are truly open to the possibility of being wrong can you ever learn”. Pendapat orang lain mungkin saja berbeda dan tidak sepaham dan dianggap salah. Tetapi di dalamnya bisa saja terdapat kebenaran yang bisa digunakan untuk melihat inti permasalahan dengan lebih tepat. Asumsi desainer terhadap sesuatu hal bisa menghalanginya untuk melihat inti permasalahan yang sebenarnya.
2. Listen to experts
Desainer perlu mendengarkan pendapat orang yang lebih ahli, meskipun kadang pendapat mereka tidak selalu disetujui desainer, tetapi paling tidak pendapat para ahli ini sudah berdasarkan penelitian dengan kajian ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Data yang mereka miliki sudah terverifikasi. Ahli yang dipilih pun haruslah orang yang tepat, yang bidangnya sesuai dengan permasalahan yang sedang dihadapi user. Hal yang terpenting adalah kualitas dan bukan kuantitas keahlian.
3. Pause before sharing
Desainer tidak perlu terburu-buru untuk membagikan buah pemikirannya. Berikan jeda sebelum berbagi apapun dan memastikan bahwa kita memiliki bukti terbaik untuk membimbing kita:
- Hanya jika itu benar bisa menjadi fakta.
- Hanya jika itu bisa mewakili data.
- Hanya jika itu mendukung, itu bisa menjadi bukti.
- Dan hanya dengan bukti kita dapat pindah dari era post-truth ke era pro-truth.
Data pendukung itulah yang kemudian menjadi bukti yang akan menuntun desainer menemukan core problem.
Lima tahapan design thinking (empathize, define, ideate, prototype, test) menuntut akurasi yang tinggi pada langkah pertama yaitu empathize. Ketepatan seorang desainer dalam menggali, memilah, dan mengolah data akan membantu desainer mendapatkan data yang matang dan valid. Hal ini menjadi penentu terpenting bagi seorang desaineruntuk melihat inti permasalahan lalu merumuskan masalah dan mencari alternatif solusi bagi user. Keberhasilan desainer dalam mengolah data sehingga mendapatkan data yang valid menjadi langkah awal agar desainer memiliki pemahaman yang tepat terhadap permasalahan yang dimiliki user. Selanjutnya, pemahaman yang mendalam dan tepat tersebut akan membantu desainer dalam mencari solusi alternatif dengan kreatif dan jitu. Adalah hal yang mustahil dan sia-sia jika seorang desainermengusulkan solusi alternatif jika pemahamannya akan masalah user tidak benar yang disebabkan data yang didapat tidak matang dan valid. ***